Selasa, 12 Oktober 2010

AKULTURASI

Akulturasi Hindu-Islam di INDONESIA


menjadi sebuah fenomena akulturasi budaya yang unik.Masyarakat muslim setempat masih melaksanakan tradisi Hindu yang diwariskan secara turun temurun, berabad­-abad. Pernah dicoba untuk menghilangkannya namun justru bencana yang datang.
Situs Candi Cangkuang berada di Pulo Panjang, yang terletak di tengah-tengah Situ Cangkuang. Situs candi ini berdekatan dengan makam Arif Muhammad, nenek moyang warga setempat. Ada tiga pulau di tengah situ ini, yaitu Pulo Panjang, Pulo Leuthik (kecil), dan Pulo Gedhe. Kampung Pulo yang terletak sekitar 20 meter arah barat candi dihuni oleh keturunan Arif Muhammad.
Hanya ada enam rumah dan satu masjid di sana. Menurut beberapa warga, pemberian nama Cangkuang terhadap candi karena di sekelilingnya banyak terdapat tanaman cangkuang yang mirip buah merah dari Papua.

Dalam buku yang disusun oleh seorang warga Cangkuang, Zaki Munawar- situs candi ini ditemukan kembali oleh Tim Sejarah Leles sekitar Desember 1966. Penemuan ini bermula ketika seorang anggota tim, Uka Tjandrasasmita, melihat ada batu yang diduga bagian dari candi. Selain itu, ditemukan pula makam kuna dan patung Dewa Syiwa yang sudah mulai rusak di dekat bangunan tersebut.

Di dalam buku tersebut dikatakan, penelitian yang dilakukan oleh Tim Sejarah Leles bermula karena tulisan Vorderman dalam buku notulen Bataviaasch Genootshap (1893). Dalam notulen itu, Vorderman menyebutkan tentang makam kuna yang berdampingan dengan sebuah patung Syiwa yang sudah rusak. Namun, tidak disebutkan batu-batu bekas bangunan candi. Tim peneliti menemukan peninggalan kehidupan zaman prasejarah. Alat-alat prasejarah itu berupa alat-alat yang terbuat dari batu obsidian, pecahan tembikar. Penemuan tersebut menunjukkan adanya kehidupan dari zaman neolitikum (batu baru) dan peninggalan kebudayaan zaman megalitikum.

Setelah dipugar, ketinggian candi tersebut menjadi 8,5 meter dan kaki dasar bangunan berukuran 4,5 x 4,5 meter. Adapun patung Dewa Syiwa ditempatkan di dalam ruangan candi yang berukurang 2,2 x 2,2 x 3,38 meter. Patung Dewa Syiwa itu diletakkan di tengah ruangan dan di atas lubang tertutup yang memiliki kedalaman hingga 7 meter. Hingga kini masyarakat yang menganut agama Hindu sering berkunjung ke Candi Cangkuang. Mereka berdoa di depan patung Dewa Syiwa atau hanya sekadar melihat­ lihat peninggalan nenek moyang mereka.

Hanya berjarak kurang dari 5 meter sebelah barat situs candi terdapat sebuah makam. Makam tersebut diyakini oleh warga setempat sebagai makam Arif Muhammad, nenek moyang mereka. Zaki memaparkan, Arif Muhammad adalah utusan Kerajaan Mataram di Yogyakarta yang diutus oleh Raja Hamengku Buwono untuk menyerbu Belanda di Batavia (sekarang Jakarta). Kompeni di Batavia saat itu dipimpin oleh JP Coen. Namun, sayang niat itu tidak terlaksana dengan baik sehingga Arif Muhammad beserta prajuritnya terpaksa mundur dari Batavia.

Karena tidak bisa menghadap rajanya dalam keadaan seperti itu, Arif Muhammad dan prajuritnya memilih tinggal di Leles, Garut, menikah dan menyebarkan agama Islam di wilayah ini, papar Zaki.

Pemelihara situs Candi Cangkuang, Umar (35), sebagaimana dikutip dari kompas cybermedia, menjelaskan, saat ini keturunan Arif Muhammad sudah mencapai yang ke delapan. Saat ini ada enam keluarga dari garis keturunan perempuan yang tinggal di tempat ini. Adapun keturunan laki-laki tinggal dan mencari nafkah di luar Kampung Pulo, tempat keturunan Arif Muhammad berada.

Umar menyebutkan, banyak wisatawan berkunjung tidak hanya sekadar berkunjung. Bagi umat Hindu, mereka sesekali bersembahyang di depan patung Dewa Syiwa. Sebelumnya ada wacana untuk membuat tempat sembahyang bagi umat Hindu di tempat ini. Namun, karena mayoritas masyarakatdi lokasi ini beragama Islam, akhimya rencana itu diurungkan.

Keberadaan makam Arif Muhammad yang memeluk Islam berdampingan dengan Candi Cangkuang, yang merupakan tempat pemujaan Dewa Syiwa bagi pemeluk agama Hindu, menjadi satu bukti interaksi positif di antara kedua agama tersebut.

Menurut Umar, ada beberapa kebiasaan yang berlaku dalam agama Hindu yang hingga ini masih dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Pule yaitu tidak bekerja di ladang pada hari Rabu.

Eyang Arif, begitu keturunan Arif Muhammad memanggil moyangnya, mengajarkan bahwa umat beragama Hindu tidak bekerja pada hari Rabu. Mereka lebih banyak memperdalam agama yang dianutnya. Oleh sebab itu, adat tersebut diambil dan disosialisasikan kepada masyarakat setempat dan keturunannya hingga saat ini

Kebiasaan lain adalah melakukan ritual keagamaan dengan menggunakan sesaji dan dupa saat berdoa di makam. Sama halnya dengan kebiasaan dalam agama Hindu yang menggunakan dupa dan sesaji saat berdoa, masyarakat adat tempat ini juga melakukan hal yang sama.

Seluruh kebiasaan yang ditinggalkan oleh Eyang Arif tersebut tetap hidup hingga saat ini. Meskipun banyak dari keturunannya yang tidak lagi tinggal di Kampung Pulo, mereka tetap melaksanakan adat sesuai dengan apa yang telah diajarkan.

Umar mengungkapkan, telah beberapa kali terjadi bencana ketika keturunan Eyang Arif melanggar aturan-aturan dan mencoba menghilangkan tradisi yang telah ada. Aturan nenek moyang mereka itu tetap setia dilaksanakan dan dipatuhi hingga akhir hayat.