Kamis, 25 November 2010

CONTOH KASUS MENGENAI STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPUR

Anak hasil perkawinan campuran
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :
1. Menjadi warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.
2. Menjadi warganegara asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
Menurut UU Kewarganegaraan Baru
1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu itu semua tergatung dari ketentuan mana yang harus diikutinya. Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini.

PERAN PEMUDA DALAM MASYARAKAT

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sangat membutuhkan sekali peran pemuda untuk kemajuan kedepannya. Apa arti pemuda? pemuda adalah sosok individu yang masih berproduktif yang mempunyai jiwa optimis, berfikir maju, dan berintelegtual. Dan hal yang paling menonjol dari pemuda ialah dengan cara melakukan perubahan menjadi lebih baik dan menjadi lebih maju. Dengan semangat 45 pemuda bisa merubah segalanya menjadi lebih baik. perubahan hampir selalu di majukan oleh para golongan muda. pemuda merupakan pilar bagi kebangkitan umat. banyak kewajiban pemuda yaitu tanggung jawab. kebaikan akan membuat mereka jaya diduniannya contoh dari peran pemuda dalam masyarakat ialah  
1) pemuda dalam mencegah HIV
2) kepemimpinan dalam negara
dan lain lain

PERANAN ORANGTUA DALAM PERKEMBANGAN MORAL ANAK

Setiap orangtua pastinya mengingini anaknya tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, tahu membedakan yang baik dan benar, dan tidak mudah terjerumus dalam hal-hal yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Semua keinginan ini bisa lebih mudah terwujud jika orangtua sadar bahwa mereka dibutuhkan dalam proses perkembangan moral anak. Dari sekian tahap perkembangan anak, masa remaja menjadi masa yang menjadi fokus perhatian para orangtua. Mereka takut apabila anak mereka tumbuh menjadi remaja yang “buruk”.
Perkembangan moral anak sebenarnya dimulai sejak awal kehidupan anak di dunia, hanya saja kita tidak bisa menilai perilaku mereka sebagai perilaku bermoral atau tidak, karena anak/ bayi belum memiliki pengetahuan dan pengertian mengenai apa yang diharapkan oleh norma-norma masyarakat. Perkembangan moral anak lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Nilai-nilai moral yang dimiliki anak merupakan hasil yang diperoleh anak dari luar dirinya. Anak belajar dan diajar oleh lingkungan tentang bagaimana ia harus berperilaku yang baik dan buruk. Lingkungan ini adalah semua yang berada di luar diri anak, seperti orangtua, saudara-saudara, teman, guru dan masyarakat. Dan orangtua (keluarga) adalah dunia pertama yang anak lihat dan temui. Anak belajar banyak dari keluarga sebelum ia keluar kedunia yang lebih luas. Ingat bahwa apa-apa yang sudah matang pada masa remaja adalah hasil dari proses belajar anak ketika masa kecilnya. Anak belajar bertingkah laku dengan meniru atau melihat bagaimana orangtuanya berperilaku. Ini tidak berarti orangtua merupakan faktor penentu bermoral atau tidaknya seorang anak, tetapi orangtua bertugas untuk mengarahkan anak untuk menjadi anak yang bermoral atau tidak.
Memasuki masa remaja kehidupan anak semakin meluas. Anak juga mulai mengenal kelompok sosial lainnya selain keluarganya seperti disekolah, di tempat kursus-kursus dan di Gereja. Kelompok sosial ini selalu penuh dengan norma-norma baik yang tertulis maupun yang tidak, yang menuntut ketaatan dari anggota kelompoknya. Sebelumnya anak bertingkah laku baik atas dasar ketaatan kepada orangtua, atau ingin mendapat imbalan (moralitas pra-konvensional : Kolbergh), kemudian bertingkah laku baik sesuai dengan aturan agar diterima dalam kelompoknya (moralitas konvensional) , maka pada masa remaja anak sudah mengetahui dengan baik alasan alasan atau prinsip-prinsip yang mendasari pembuatan norma tersebut (moralitas pasca-konvensional). Anak sudah mampu membedakan macam-macam nilai moral serta macam-macam situasi dimana nilai-nilai moral itu dapat dikenakan. Anak sudah mengenal konsep-konsep moralitas yang lebih besar seperti kejujuran, hak milik keadilan, kehormatan. Pada masa ini anak mulai memiliki rasa/ dorongan untuk melakukan perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Jadi , anak berbuat baik bukan lagi untuk mendapatkan kepuasan secara fisik, tetapi untuk mendapatkan kepuasan psikologis.
Berikut ada beberapa hal yang perlu diingat orangtua dalam rangka mengarahkan pada moral yang baik :
1.Moralitas itu berkembang dengan pelan dan bertahap. Konsep mengenai benar dan salah sudah bisa dimulai ketika anak berumur 1 tahun.
2.Moralitas diperoleh dengan 2 cara yaitu contoh dan cerita. Menjadi model yang baik bagi anak. Bagaimana orangtua bersikap terhadap oranglain seperti kepada anak yang lain, kepada pembantu, sopir dan saudara yang lain adalah contoh-contoh yang dilihat anak setiap hari. Pada saat yang sama bercerita dengan dongeng (untuk anak) atau kisah kehidupan yang sarat dengan pesan moral (untuk remaja) akan membantu anak mengembangkan konsep mereka mengenai “salah dan benar”.
3.Moralitas juga berbicara mengenai konsistensi. Konsistensi dalam mendidik anak. Satu tingkah laku yang sudah dilarang pada suatu waktu, harus pula dilarang apabila dilakukan pada waktu yang lain. Antara ayah dan ibu juga harus ada kesusaian dalam melarang atau mengijinkan tingkah laku tertentu.
4.Penghayatan orangtua terhadap agama juga mempengaruhi sikap mereka dan tindakan mereka sehari-hari. Ini akan mempengaruhi cara-cara mereka mengasuh anak. Anak yang selalu dibekali dengan pemahaman mengenai Kasih yang sesungguhnya, kasih yang melewati batas agama, ras dan golongan; pemahaman mengenai kesetiaannya kepada Tuhan; ketaatan; penghargaan, dll akan menjadi dasar yang kuat bagi anak untuk melangkah dalam hidupnya.